Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Akhir-akhir ini sering terdengar perdebatan di media sosial, terutama di Twitter dan Instagram mengenai definisi gender. Banyak sekali netizen kita yang salah kaprah dalam memahami makna gender, hingga menyamakan antara gender dengan kodrat. Banyak yang menganggap peran gender yang saat ini umum di masyarakat merupakan suatu kodrat yang semestinya tidak boleh diubah.

Rata-rata mereka yang tidak paham mengenai gender menganggap bahwa kodrat perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus seluruh pekerjaan domestik, merawat anak-anak dan tidak boleh berkegiatan di luar rumah. Sedangkan kodrat laki-laki adalah sebagai pemimpin dan pencari nafkah.

Menurut Dr. Mansour Fakih, kodrat ialah pensifatan dua jenis kelamin (seks) yang ditentukan secara biologis dan melekat secara permanen pada jenis kelamin tertentu. Kodrat secara biologis telah ditentukan oleh Tuhan. Misalnya, kodrat perempuan  bisa menstruasi, menyusui dan melahirkan, berbeda dengan laki-laki yang dapat memproduksi sperma. 

Sedangkan gender sendiri merupakan suatu sifat yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Contohnya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah lembut, keibuan, emosional dan kurang rasional. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan menjadi perempuan yang rasional, laki-laki yang emosional dan seterusnya. Konsep gender ini dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, serta dapat berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya.

Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender tersebut disebabkan oleh konstruksi sosial, kultural, ajaran agama hingga negara. Proses sosialisasi dan rekonstruksi yang berlangsung secara mapan dan dalam rentang waktu yang sangat lama akhirnya menjadikan masyarakat sulit membedakan antara sifat-sifat gender dengan kodrat.

Lalu mengapa perbedaan dalam gender menjadi masalah dan dianggap mencederai kesetaraan gender antara perempuan dengan laki-laki?. Hal ini karena perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang dapat menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai korbannya.

Dewasa ini, manifestasi dari ketidakadilan gender pada perempuan yang terpampang begitu nyata dalam masyarakat adalah marginalisasi pekerjaan, subordinasi dalam berbagai bidang dan kekerasan (violence). Marginalisasi perempuan dalam pekerjaan mengakibatkan upah yang diterima perempuan lebih kecil dari laki-laki. Padahal beban dan waktu kerja yang diberikan sama. Namun anggapan bahwa peran perempuan sebagai pencari nafkah "tambahan" semakin melanggengkan sistem ini. Pada kenyataannya tak sedikit perempuan atau seorang ibu yang menjadi tulang punggung bagi keluarga.

Subordinasi pada perempuan dapat terjadi pada berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Subordinasi terjadi karena anggapan perempuan adalah makhluk yang emosional dan kurang rasional, sehingga dianggap kurang cakap dalam memikul suatu tanggung jawab. Dalam politik misalnya, perempuan sering diletakkan pada posisi yang kurang penting, sedangkan laki-laki diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menduduki suatu jabatan. Padahal kapabilitas seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin.

Kekerasan pada gender disebabkan oleh bias gender, yaitu suatu kondisi yang memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin. Kekerasan pada perempuan saat ini masih sering terjadi di lingkungan sekitar karena anggapan superoritas laki-laki terhadap perempuan. Apabila perempuan melawan maka akan dianggap tidak pantas, durhaka dan melanggar perintah agama. Kekerasan ini jika dibiarkan maka akan berujung pada tindakan pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitusi), pornografi, pelecehan seksual (sexual harassment) dan lain sebagainya. Bias gender juga mengakibatkan perempuan karier mendapatkan "beban kerja ganda" yaitu harus mencari nafkah sekaligus mengurus pekerjaan domestik yang dianggap oleh masyarakat sebagai "pekerjaan perempuan".

Selama pandemi ini angka kekerasan berbasis gender terus melonjak, terutama KDRT akibat semakin intensnya interaksi antara laki-laki dan perempuan di rumah. Menurut P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan Komnas Perempuan, peningkatan kasus kekerasan selama pandemi COVID-19 meningkat sebesar 75 persen. Sedangkan menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan jumlah korban sebesar 277 orang.

Memperjuangkan keadilan gender bukanlah pekerjaan yang instan. Terlebih apabila perlawanan ini mengganggu privillage beberapa kalangan yang telah diuntungkan oleh ketidakadilan gender. Perlunya peran berbagai pihak, termasuk negara yang dilakukan secara serempak dalam mengatasi masalah ini. Perempuan sendiri secara tegas perlu melawan dan menolak berbagai tindak ketidakadilan serta terus aktif dalam memperjuangkan kesetaraan. 

Apabila perempuan sendiri diam, menganggap remeh dan membiarkan kekerasan maupun pelecehan terjadi, maka sama saja dengan memberi peluang kepada pelaku untuk terus melanggengkan aksinya. Perempuan juga perlu diberikan ruang aman untuk mengedukasi diri, berbagi pengalaman serta membahas masalah ketidakadilan gender yang terus terjadi. 

Menurut Dr. Mansur Fakih, gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi perempuan. Yaitu suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?