Ijinkan aku terlahir

Menjadi seorang introvert, haruskah aku mati?
-
Aku dan minoritas manusia di bumi pasti pernah merasakan bagaimana terlukanya ketika tajamnya lidah dan tatapan mata buas siap menerkam. Ketika sebagian orang menganggapmu "payah" atau lebih dari itu, anti sosial misalnya. Pada detik itu pun, dunia terasa begitu kejam bukan? aku adalah salah satu darinya dan aku sangat yakin akan hal itu. Setelah beberapa artikel kubaca, test kepribadian online serta test dari teman jurusan psikologi menyambut positif hal itu. Aku bak divonis penyakit mematikan yang akan merenggut nyawaku beberapa hari lagi. Terlihat berlebihan memang. Aku menjalani hidup dengan rasa kebencian pada diriku. sesekali bertanya kepada Tuhan "mengapa aku tidak terlahir menjadi seperti mereka saja?".

Hari-hari berlalu, aku mulai bisa menerima hal-hal itu meskipun berat. Hingga usiaku menginjak 18 tahun. Seperti umumnya muda-mudi sepertiku, aku melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dengan bermodal niat dan ke-nekad-an yang kupunya, aku berhasil diterima di perguruan tinggi islam yakni UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Pada awal menjadi mahasiswa baru aku berangkat dan pulang kuliah seperti teman-teman yang lain. Untuk mengisi waktu yang sedikit luang, aku mengikuti beberapa organisasi di kampusku.

Pada semester pertama aku mengikuti organisasi ekstra kampus yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan pada semester kedua Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) INOVASI. Aku bergabung dengan IMM karena latar belakangku yang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Sedangkan aku bergabung dengan UAPM INOVASI adalah karena aku ingin mengembangkan kemampuan menulisku yang  terbilang rendah. Meskipun pada akhirnya, kedua organisasi itu tak sesuai dengan ekspektasiku. Namun, aku sangat bersyukur menjadi bagian didalamnya. Mereka lebih dari itu.

Awalnya, bagi orang sepertiku begitu berat menyesuaikan diri. Aku yang terbilang paling " pendiam" diantara lainnya, tiba-tiba saja terdesak untuk bersuara. Lidahku kelu, otakku benar-benar kosong hingga tak ada satupun kata yang bisa ku olah untuk bicara. Rasanya ingin menangis, berlari dan tidak akan pernah kembali lagi.

Namun, aku tidak menyerah begitu saja. Aku memiliki teman-teman yang selalu menguatkanku. Mereka adalah Lisana Sidqi Aliya (Kiki), Dwi Putri Ayu Wardani (Ayu), Nur Rahmi Widya Ningrum (Rahmi), Nur Dana Novi Yanti Salma (Novi), Esamada Rose Nursaputri (Mada), Dika Alvionita Sari (Dika), Dedik Ferdianto (Dedik), Rifqi Ramadhani (Rifqi), Adam Jarror (Adam), Naharus Surur (Surur), Wahyu Nur Rochman (Wahyu), juga teman-teman dan kakak-kakak senior lainnya. Mereka adalah teman-temanku di IMM Komisariat Revivalis. Komisariat yang merupakan gabungan dari mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi serta Fakultas Ekonomi.

Tidak hanya teman-teman dari IMM, teman-teman dari UAPM INOVASI pun, dengan senantiasa memberiku dukungan untuk terus menulis dan berdiskusi. Mereka adalah Dwi Yulia Istiqomah (Dwik), Zumrotus Solicha (Zum), Gita Niken Madapuri (Gita), Servita Ramadhianty (Inyong), Ana Masruroh (Ana), Fatichatul Azekiyah (Icul), Novia Dewi Ernia (Mbak Nov), Muhammad Fajar Riyandanu (Rian), Lukmanul Hakim (Lukman) dan kakak-kakak senior lainnya. Mereka semua sangat rajin menulis dan sangat aktif. Membuatku iri dengan semangat mereka. Di UAPM Inovasi kami sering melakukan liputan, wawancara, menulis dan editing berita. Kadang-kadang untuk menambah wawasan dengan berdiskusi sambil ngopi.

Selain mengikuti kedua organisasi tersebut, aku memberanikan diri mendaftar sebagai asisten laboratorium (aslab). Aslab bertugas untuk mengatur dan membimbing praktikum supaya bisa terlaksana dengan baik. Yah, meski aku tau aku sangatlah buruk dalam hal komunikasi didepan umum (public speaking) tapi aku tetap mencobanya. Dengan serangkaian test yang ada, Alhamdulillah aku menjadi salah satu yang diterima.  Dan alhamdulillah teman seperjuanganku yang juga menjadi partner asistenku yakni Isneini Sholika Rohma (Neni) dan Yunita Dinul Ula (Yunita) dengan senantiasa membantuku saat mengalami kesulitan. Juga adik-adik praktikan (adik tingkat) selalu memaklumi dan memberi kritik saran yang membangun bagi kami. Alhasil, satu semester menjadi aslab berjalan dengan lancar.

Meski aku sadar, banyak sekali kekurangan yang aku miliki aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman yang baik dan selalu menerima kekuranganku apa adanya. Lambat laun aku merasa lebih percaya diri berada di sekitar mereka. Ya, walaupun aku belum bisa menghilangkan sifat "pemalu" ku, namun setidaknya aku bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dan satu hal yang kini kusadari. Menjadi seorang introvert bukan berarti harus menarik diri dari lingkungan sosial. Aku juga perlu bersosialisasi karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Selalu membutuhkan orang lain. Tapi, tidak berarti aku harus kehilangan jati diriku. Aku tetap bisa menikmati waktu untuk sendiri (me time) pada saat tertentu. Dan orang-orang terdekat pasti akan mengerti kebutuhanku akan waktu privasi tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?