Panderman : Cinta Pertamaku pada Ketinggian


Mendaki, muncak atau naik gunung, pasti bukan hal yang asing di telinga kan?. Apa sih yang muncul di benakmu saat melihat satu atau dua orang temanmu senang mendaki? keren kah? seram kah? atau dalam hatimu berkata "ngapain sih ndaki? udah bahaya, ngabisin duit, bikin capek lagi!" hehe. Seakan kamu tidak menemukan satupun hal positif yang bisa diambil dari kegiatan ini. Jika kamu salah satu orang yang berpikir demikian, coba pikirkan sekali lagi, mungkin kamu belum pernah merasakan bagaimana nagihnya olah raga satu ini. Ya, dulu aku pun begitu. Belum penah terbayang suatu hari bisa menginjakkan kaki di puncak dan akhirnya kecanduan sampai sekarang.

Semua berawal saat aku kuliah di Malang. Suatu hari saat aku baru saja bergabung di salah satu organisasi kampus, tiba-tiba salah satu senior menawarkan untuk refreshing sekaligus mengadakan kegiatan outdoor supaya kami mahasiswa baru lebih mengenal satu sama lain. Ternyata banyak teman-teman yang antusias untuk ikut, akupun akhirnya turut menganggukan kepala. Setelah ijin dengan orang tua masing-masing melalui chat, kami pun berangkat bersama-sama malam itu dengan menaiki motor. Oh ya, gunung yang akan kami daki berlokasi tidak jauh dari kota Malang, yaitu di kota Batu, namanya Gunung Panderman. Tingginya sekitar 2.045 m dpl. Karena gunung ini tergolong tidak terlalu tinggi, kami memutuskan untuk tidak mendirikan tenda dan langsung turun setelah sampai di puncak.
 
Kami memulai pendakian pada dini hari, sekitar pukul 00.00-01.00 WIB. Dengan bermodal penerangan dari lampu senter, kami bersebelas mulai menerobos jalur pendakian. Kebetulan saat itu sedang musim hujan, hingga menjadi tantangan tersendiri untuk kami yang kebanyakan masih pemula. Medan pendakian yang sangat licin dan berlumpur membuat kami sesekali jatuh terpeleset. Sehingga kami harus saling membantu agar sampai di puncak tempat waktu, yaitu saat matahari terbit.

Semakin tinggi kaki kami berpijak, semakin sulit medan yang dilalui. Kemiringan yang bertambah ekstrim, tanjakan yang makin curam, ditunjang dengan kondisi yang gelap dan dingin. Kakak-kakak senior pun mulai memberi semangat pada kami yang sudah hampir menyerah, dengan meyakinkan kami bahwa puncak sudah dekat. Kami yang masih polos pun langsung kembali bersemangat dengan sisa-sisa tenaga dan napas yang masih tersengal. Ternyata puncak tak kunjung terlihat. Walaupun kakak-kakak terus berteriak "Ayooo semangat... 30 menit lagi sampai". Akhirnya kami pun sadar kalau mereka hanya berbohong untuk memberi semangat. Tapi tak apalah, kami tidak peduli, kami justru ikut-ikutan bersorak saling menyemangati. Sesekali kami bercanda, saling menggoda satu sama lain agar perjalanan tidak terasa melelahkan. Perjalanan kami ditemani oleh hamparan city light dari kota Malang dan Batu yang memukau.

Keindahan matahari terbit dari puncak Basundara memang tidak pernah ingkar janji. Semburat cahaya jingga dari langit timur samar-samar menyusup diantara petang memamerkan lukisan alam yang sangat memesona. Akhirnya kami sampai di puncak setelah 4 jam perjalanan. Saat itu juga segala rasa lelah kami terbayar lunas. Setelah sholat subuh kami pun mulai menggelar tikar dan mengeluarkan perbekalan. Kakak-kakak senior mulai sibuk memasak air untuk membuat kopi dan mi instan untuk kami. Sambil menunggu makanan siap, kami pun berfoto bersama di bawah tugu bertuliskan "Puncak Basundara Panderman 2000 m dpl" dengan pemandangan sunrise di antara celah gunung Arjuno-Welirang. 

Setelah puas berfoto kami makan bersama dengan mi instan dan camilan seadanya. Makanan yang baru matang dalam sekejap langsung terasa dingin karena hembusan udara pegunungan. Tapi kami tetap menyantapnya dengan lahap karena perut yang sudah keroncongan. Maklum, kami benar-benar lapar karena semua tenaga telah terkuras habis di perjalanan. Sehabis makan kami pun mengobrol santai sambil minum kopi, beberapa ada yang masih asyik memotret pemandangan dan ada juga yang sudah tidur karena mengantuk. Setelah matahari mulai terik, kami pun memutuskan turun dan kembali ke Malang.

Gunung Panderman menjadi gunung pertama yang ku jelajahi. Gunung yang telah membuatku jatuh cinta pada ketinggian. Aku tak peduli meskipun seluruh pakaianku kotor terkena lumpur, tidak peduli dengan kaki dan badan yang pegal-pegal. Aku sangat menikmatinya dan tidak akan kapok untuk mendaki gunung lagi. Banyak sekali pelajaran yang ku dapatkan pada pengalaman pertamaku ini. Tentang kebersamaan, kesabaran, semangat pantang menyerah, cara mengendalikan ego, saling membantu, saling berbagi, saling mengalah dan masih banyak lagi. Saat itu pun aku berharap bisa mendaki gunung-gunung yang lain. Menulis cerita menarik di setiap perjalanan, belajar tentang kehidupan sambil menikmati setiap karunia dan kebesaran-Nya

Malang, 29 April 2020














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?