Why I Try to Limit My Social Media




Semua berawal dari rasa gundah yang selama ini aku rasakan. Aku melihat betapa sempurnanya kehidupan orang-orang di media sosial. Mereka berlomba-lomba menujukkan segala pencapaian yang telah mereka raih, entah itu prestasi akademik/nonakademik, pekerjaan, jabatan, karir, lifestyle, makanan-makanan mewah yang mereka post di instastory, outfit of the day yang kekinian, mirror selfie dengan tubuh langsing, putih dan mulus yang seakan mengaminkan standar kecantikan masa kini dan masih banyak lagi. 

Saat itu pun aku menganggap bahwa media sosial telah berubah menjadi ajang 'pamer' bagi sebagian orang yang ingin menunjukkan kelas sosial mereka. Everyone just tries to show their best, right?

 Media sosial seakan terus menghipnotis, aku semakin gencar stalking kehidupan teman-teman lamaku, teman-teman kuliah, selebgram, selebritis, kepo dengan orang-orang yang menjadi viral. Terkadang aku merasa iri dengan kehidupan mereka yang sempurna. Mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudah. Sedangkan aku?, semua ini membuatku merasa bahwa kehidupanku terlalu biasa-biasa saja. Tidak ada satu pun hal yang pantas untuk aku banggakan. Menanggap bahwa orang lain selalu berada diatasku, merasa bahwa diri ini tidak lagi ada apa-apanya. Aku rasa semua orang pernah merasakan hal yang sama bukan?

Tanpa aku sadari media sosial membuat banyak waktuku terbuang sia-sia hanya untuk membanding-bandingkan kehidupan satu dengan yang lain. Waktu yang seharusnya bisa aku gunakan secara maksimal untuk mengembangkan diri, belajar hal-hal baru dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya di usia yang masih muda ini.

Disisi lain beberapa orang yang sebenarnya pantas untuk pamer justru memilih menyimpan rapat-rapat segala pencapaiannya yang luar biasa, membaginya bersama "mereka" yang dianggap memang perlu tahu dan peduli. Bukan mengharapkan sanjungan dan pujian dari orang-orang yang bahkan tidak pernah ditemuinya seumur hidup. Namun ada juga yang sengaja membagi kisah luar biasanya dengan harapan orang lain akan termotivasi untuk menjadi sukses sepertinya dan menjadi bermanfaat untuk sesama. Semuanya punya pilihannya masing-masing. I know, we can't control that.

Suatu ketika aku sempat satu dua kali mehapus aplikasi sosial media dari ponselku selama beberapa minggu dan mencoba untuk berfokus pada kehidupan nyata. Tapi sesekali rasa jenuh dan muncul rasa khawatir akan ketinggalan informasi, takut dibilang kudet dan alasan-alasan lain yang membuatku kembali meng-install aplikasi tersebut. Dan seperti sebelum-sebelumnya aku kembali dirundung rasa insecure yang berlebihan belum lagi ditambah dengan masalah-masalah di kehidupan nyata yang semakin pelik, membuatku merasa tidak berguna. Hal ini membuatku semakin yakin bahwa social media is not good for my mental health.

Setelah itu entah dari mana datangnya, muncul sebuah rekomendasi di YouTube tentang hidup minimalis dengan tittle "Quit Social Media, 2 Tahun Tanpa Social Media". Tanpa berpikir dua kali aku menonton video itu sampai habis sambil membaca komentar para netizen. Sebagian besar mereka pro dengan sudut pandang pemilik video, ada yang ikut membagikan pengalamannya dan ada juga yang berkomentar ingin mencobanya. 

Video itu pun semakin membulatkan tekatku untuk berhenti kecanduan media sosial dan mengurangi hal-hal toxic yang tidak bermanfaat. Akhirnya aku memutuskan untuk mulai melakukan mute di seluruh status Whatsapp, meng-unsubscribe channel YouTube dengan konten yang kurang bermanfaat, menghapus aplikasi Instagram, untuk Twitter dan Facebook aku hampir tidak pernah lagi membukanya, jadi tidak ada masalah. Walaupun aku tidak menghapus semua akunku secara permanen dengan alasan tertentu, setidaknya aku mulai terbiasa membatasi diriku untuk lebih bijak dalam menggunakan mediasosial.l

And what happened after that?, kehidupan nyataku berangsur-angsur membaik, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca banyak artikel, melihat video yang bermanfaat, belajar menulis, lebih jarang memeriksa ponsel dan menjadi lebih peka dengan lingkungan sekitar.

Tapi terlepas dari semuanya ini hanyalah asumsi pribadi, sebuah pilihan hidup yang sudah ku pertimbangan dengan baik. Walaupun aku akui tidak semua hal yang ada di media sosial mendatangkan dampak negatif. Namun aku merasa hidupku lebih tertata dengan baik dengan membatasi media sosial. Kalian boleh saja tidak sepemikiran. Atau mungkin justru media sosial banyak mendatangkan sisi postif  dibanding sisi negatifnya untuk kalian. Karena banyak juga orang-orang yang sukses karena merintis karir dan usahanya dari media sosial. Apapun yang terbaik, yakini dan lakukan. Gunakan media sosial dengan sebijak-bijaknya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?