Nasib Rakyat Kecil di Tengah Pandemi

Tidak terasa saya sudah menjalani anjuran pemerintah untuk #dirumahaja sejak terakhir pulang ke Madiun, tepatnya 23 Maret 2020. Berarti sudah hampir 2 bulan saya menganggur di rumah. Dulu momen-momen seperti inilah yang selalu saya tunggu, bisa pulang di sela-sela kewajiban skripsian saya di Malang. Tapi niat itu selalu saya tahan karena mengingat harga tiket kereta yang lumayan mahal, menurut saya.

Sayangnya, saya pulang dengan cara seperti ini. Ya apalagi kalau bukan karena pandemi corona. Tapi saya bersyukur masih bisa pulang dari salah satu kota berzona merah-saat itu. karena beberapa teman saya harus 'terpenjara' di perantauan, tidak bisa pulang kampung karena kondisi masih belum juga membaik.

Rasa-rasanya dalam kondisi seperti ini memang paling mudah untuk berkeluh kesah dan menyalahkan keadaan. Setiap hari saya berada di depan laptop dan merutuki kebijakan pemerintah yang tidak mau menggratiskan biaya UKT. Jangankan digratiskan, janji diskon minimal 10% saja kemarin batal. Meskipun di twitter hastag #kemenagjagoPHP sudah ramai dan menjadi trending. Tapi UKT tetap tidak kunjung turun sampai hari ini.

Maklum, untuk mahasiswa semester akhir seperti saya yang sedang penelitian dan harus ngelab (pergi ke laboratorium) saat ini perlu banyak-banyak bersabar, sambil mengucapkan selamat kepada teman-teman jurusan lain sudah sidang online. Sedih memang, untuk seminar proposal saja diri ini masih harus menunggu acc. Otomatis, mau tidak mau saya harus berjaga-jaga menabung UKT untuk semester depan. Kok jadi curhat ya hehe.

Semua orang mengeluh, saya mengeluh, teman-teman saya mengeluh, adik saya mengeluh minta UN saja daripada mengerjakan tugas school from home yang menumpuk. Belum lagi merengek minta dibelikan paket internet oleh ibu untuk mengirim tugas. Tapi ibu dan bapak selalu berusaha tegar dalam segala kondisi. Job mengajar privat ibu masih berjalan walaupun tetap dibatasi. Bapak juga masih pergi piket ke kantor. Setidaknya masih ada pemasukan untuk sahur dan buka puasa sehari-hari. Alhamdulillah, kami masih lebih beruntung dari orang-orang di luar sana.

Sebari menunggu berbuka puasa, biasanya kami menonton TV bersama. Keluarga kami sudah biasa menonton berita di TV karena sejak kecil dibiasakan oleh ibu. Beberapa hari lalu, kami sekeluarga dihebohkan dengan berita seorang ibu asal Serang yang meninggal diduga karena dua hari tidak makan.

Selama dua hari beliau, ibu Yuli dan keluarganya hanya bisa mengganjal perut dengan air galon isi ulang saja. Lebih menyedihkan lagi ibu Yuli meninggalkan empat orang anak, yang salah satunya masih bayi. Begitu malang nasib keluarga pemulung ini, mereka kelaparan karena tidak ada pemasukan sama sekali selama pandemi. Mereka bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli beras. Sungguh miris.

Meskipun dokter telah mendiagnosa ibu Yuli meninggal karena serangan jantung, tapi bukankah masuk akal jika penyakit tersebut muncul didorong oleh tekanan psikologis yang ibu Yuli alami? karena setiap hari memikirkan kondisi ekonominya yang kian hari kian memburuk.

Ketika berita kelaparan tersebut viral di media, beberapa bantuan mulai berdatangan dari para relawan, tak terkecuali pemerintah. Namun sangat disayangkan. Selalu saja bantuan datang ketika rakyat mulai merengang nyawa. Kemana pemerintah setempat ketika ibu Yuli dan keluarganya berjuang mencari bantuan untuk bertahan hidup?

Ditengah kondisi pandemi seperti saat ini, sangatlah sulit bagi masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagaimana tidak? Penghasilan mereka masih tidak tetap dan sangat ditentukan oleh kondisi di lapangan.

Solusi yang diberikan pemerintah pun dirasa kurang efektif menanggulani permasalahan ini. Bantuan sosial seharusnya dibagikan secara menyeluruh dan tepat sasaran, terutama untuk masyarakat kecil. Kepedulian sosial masyarakat pun juga perlu ditingkatkan agar hal yang sama tidak terulang kembali.

Dalam kondisi pandemi yang entah kapan akan berakhir, bukankah hal yang mustahil jika akan ada ibu Yuli - ibu Yuli lain yang berjatuhan di negeri ini?



Madiun, 3 Mei 2020 / 10 Ramadan 1441 H
Ramadan Menulis Part IV
Tema : Nasib Rakyat Kecil di Tengah Pandemi












Komentar

  1. So sad to hear that :((( semoga badai pandemi segera berlalu, semoga semua cepat berlalu. Semoga usai ini tak ada lagi rakyat miskin yang menderita (sangat berharap dan erat berdoa) 😙

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?