Sang Pemilik Pena

Alkisah, hiduplah seorang wanita miskin bersama dua putranya di sebuah gubuk sempit nan sederhana. Rumah itu terletak di pinggiran kota. Sehari-hari Sang ibu bekerja menjual tanaman hias dengan berjalan kaki ke kota. 

Suatu hari setelah pulang bekerja, sang ibu berniat membeli dua buah pena untuk kedua putranya. Karena pada hari itu seluruh dagangannya laku keras tak tersisa. Keuntungan yang diperoleh pun lumayan banyak. 

Akhirnya sang ibu pulang dengan membawa dua buah pena. Diberikannya pena itu kepada kedua putranya. Kedua pena itu sama-sama berwarna perak mengkilat, dengan ukiran bunga di sisi kanan kirinya. Isinya sama-sama tinta hitam yang pekat. Sama -sama indahnya.

Sang anak pertama sangat senang dengan pena itu. Ia langsung menggunakan pena pemberian ibunya untuk mencoret-coret buku. Entah apa yang ia tulis di sana. Sang ibu pun tersenyum dan membiarkannya.

Berbeda cerita dengan anak kedua. Pena itu disimpannya dalam sebuah kotak kayu. Diletakkan diatas tempat yang aman dan tersembunyi. Ia tak mau pena itu menjadi rusak dan tintanya habis dengan sia-sia.

Sambil membelai kepala putranya keduanya, sang ibu pun bertanya, "Mengapa pena itu tidak pernah kau gunakan untuk menulis, anakku?"
Sang anak pun menjawab, "Aku sangat mencintai pena pemberianmu bu, pena itu sangat indah. Aku tak ingin pena itu rusak dan habis tintanya". Celotehnya polos.

Sang ibu pun tersenyum ramah, masih membelai kepala putra bungsunya itu.
"Bukan begitu maksud ibu nak, ibu memberimu pena bukan untuk dibiarkan begitu saja" terang sang ibu.

Sang anak pun kebingungan dan beralih memandangi wajah ibunya. Ia berusaha menemukan jawaban dari sorot mata damai wanita tua itu. Tanpa diminta pun sang ibu kembali melanjutkan ucapannya.
"Ibu ingin melihat karya apa yang bisa diciptakan oleh putra-putra ibu dari sebuah pena. Apakah sebuah puisi, gambar atau lainnya." jawab ibu dengan sabar.

Sang anak pun mengangguk paham sambil mencerna apa yang barusan sang ibu sampaikan.

*************

Di lain hari, di tengah malam, sang ibu menemukan putra sulungnya tengah tertidur pulas di atas meja. Kepalanya menindih sebuah buku dan tangannya masih menggenggam pena yang pernah ia berikan.

Dipindahkaannya tubuh sang anak ke ranjang. Lalu sang ibu mulai membuka lembar per lembar buku yang telah dicoret-coret sang anak dengan penanya. Dibaca seluruh halaman hingga halaman terakhir. Menetes air dari kedua mata sang ibu. Dengan lirih sang ibu berbisik,

"Ibu hanya memberimu sebuah pena, tapi engkau memberikan duniamu untuk ibu".

-Tamat-



Madiun, 11 Ramadan 1441 H
Ramadan Menulis part V
Tema : Ramadan dan Pena


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?