Sebuah Refleksi Diri

Ramadan menulis (RM) sudah menginjak hari ke enam, yapsss pasti teman-teman RM sudah mulai bingung mencari topik untuk ditulis hehe. Sama, saya juga bingung mau nulis apa. Walaupun kita sudah menyiapkan 10 tema yang akan ditulis dalam 10 hari, tapi rasa-rasanya tetap saja masih bingung mengumpulkan ide-ide yang bisa nyambung dengan tema yang ada. 

Jujur, sebenarnya saya memang nggak punya banyak hal yang bisa dibagikan disini. Saya tidak punya pengalaman keren seperti teman-teman, saya juga jarang baca buku, apalagi menulis. Saya pun kurang mengikuti isu-isu terkini, kurang peka dengan masalah-masalah di sekitar, masih suka rebahan dan tentunya masih sering apatis. Sayang sekali diri ini malah nyaman bersembunyi di comfort zone, terlalu takut untuk memulai dan menjadi berbeda. Intinya, masih punya banyak PR yang harus diperbaiki. Masih perlu banyak belajar dari pengalaman dan kesempatan yang akan datang.

Disini saya ingin membagikan sedikit hal yang mungkin sering juga dipikirkan oleh banyak orang. Yapsss seperti yang tertera di judul, yaitu tentang refleksi diri. Entah tulisan ini akan nyambung dengan tema atau tidak. Nggak masalah kan? haha

Oh ya, rasanya baru beberapa hari yang lalu saya bertambah usia. Sekarang umur saya sudah 23 tahun. Tapi bukannya bahagia, saya justru jadi banyak merenung. Ceilaahhh merenung hehe. Selama 23 tahun ini apa saja yang sudah saya lakukan? mengapa di usia yang semakin bertambah, diri ini masih begini-begini saja. Tidak ada kemajuan yang begitu berarti. Justru saya masih banyak bergantung pada orang lain, masih sering merepotkan, masih banyak menuntut hak dibanding melaksanakan kewajiban, masih belum bisa memberi dan berbuat banyak untuk orang-orang di sekitar. Ya begitulah kurang lebih refleksi diri saya untuk 23 tahun ini. Pasti kebanyakan dari kita pernah mengalaminya kan?

Jika sedikit mengintip ke luar, di usia 20-an seperti ini tentunya kita akan melihat orang-orang atau bahkan teman-teman sebaya kita yang sudah meraih banyak pencapaian. Bahkan tak sedikit juga yang sudah hampir sampai pada mimpi-mimpinya, saling menunjukkan eksistensi, menjadi orang sukses dan berguna. Hm... tapi apakah kita harus selalu berpatokan pada kesuksesan orang lain? Bukankan versi kesuksesan setiap orang itu berbeda-beda?

Terlepas dari itu semua, sampai kapan kita akan terus melihat ke atas? sampai-sampai melupakan hal yang paling berharga, yaitu diri sendiri. Jangan habiskan waktu untuk menyesali apa yang sudah terlewati. Jangan membuang-buang waktu untuk merutuki segala target yang belum tersentuh. Berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain, karena itu tidak akan ada habisnya. Rangkulah semua kesalahan dan kekurangan di masa lalu, jadikan guru terbaik dalam hidup. Cukup jadikan pencapaian yang dimiliki orang lain sebagai cambuk untuk terus bergerak maju.

Yang paling penting saat ini adalah belajar menerima. Menerima bahwa diri kita hanyalah manusia biasa yang punya kapasitas. Bukankah selama ini kita selalu memaksakan diri untuk memenuhi segala ekspektasi orang lain? Sampai-sampai kita lupa untuk mencintai diri sendiri. Peluklah diri kita erat-erat dan ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Terima kasih atas diri yang sudah jatuh bangun dalam segala kondisi. Terimakasih atas diri yang masih berdiri tegak diterpa berbagai cobaan yang datang bertubi-tubi. Terima kasih atas diri yang selalu ikhlas menerima segala cibiran menyakitkan tanpa berusaha membalas. Terima kasih untuk diri yang selalu bangkit dan terus belajar. Terima kasih atas diri yang mau menerima segala kekurangan dan terus memperbaiki.

Untukmu, yang membaca tulisan ini, entah dimanapun kamu berada saat ini. Terima kasih sudah sampai di titik ini. Kamu luar biasa!. Tidak semua orang bisa sekuat dirimu. Aku turut bangga, kamu pun harus lebih bangga! :')




Madiun, 12 Ramadan 1441 H
Ramadan menulis part VI
Tema : Menjadi pribadi yang lebih baik di bulan Ramadan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?