Edra & Ara (1)

*Ara*

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB jalanan mulai sesak dipenuhi raut wajah lelah para penjemput nafkah yang tak sabar ingin pulang dan melepas penatnya kota metropolitan. 

Seorang laki-laki berusia 20-an, bertubuh tinggi, berkulit sawo matang dengan seragam serba hitam yang melekat di tubuhnya sedang duduk di sebuah cafe bernuansa minimalis. Cafe berlantai dua dengan luas 5x10 meter, bercat dinding putih lengkap dengan dekorasi ukiran kayu dan pot bunga tergantung pada sudut-sudutnya terlihat sedang sepi pengunjung.

Seperti biasanya, ia duduk di bagian pojok kiri menatap jendela tanpa kaca menikmati pemandangan matahari yang perlahan mulai terbenam. Sesekali ia meneguk Americano panas yang kini tinggal setengah cangkir. 

Sepertinya semesta sedang berpihak padanya. Sore ini senja sedang memamerkan golden hour yang sangat memukau. Laki-laki itu terus menatap momen berharga itu dengan takjub hingga lupa berkedip. Lalu mengambil gambar dengan kamera di gengamannya tepat ketika matahari mulai berpamit.

Dari kejauhan ku pelankan langkah kakiku, takut kalau-kalau suara kakiku merusak detik-detik berharga yang selalu ditunggunya tiap sore hari. Sepulang bekerja, ia tak pernah buru-buru pulang seperti yang lain, tak ada yang menunggunya di rumah katanya. 

Ku letakkan tasku di atas kursi yang berhadapan langsung dengan posisinya, lalu aku bergegas memesan Pink Macchiato favoritku ke meja kasir, membayarnya dan segera kembali ke meja. Ia pun menyadari kedatanganku.

"Kau disini? Sejak kapan?" Tanyanya dengan wajah sedikit terkejut

"Baru saja datang" Jawabku sambil menarik kursi untuk duduk

"Maaf tadi aku sedang fokus, sampai-sampai tidak tahu kamu disini"

"Mataharinya bagus ya? Sayang sekali aku terlambat"

"Besok kita datang lagi kesini, melihatnya bersama"

Hari ini adalah perjumpaanku yang kedua kalinya dengan Edra. Sebenarnya lebih dari itu, tapi saat itu kami belum saling mengenal. Kami bukan saudara, bukan teman apalagi rekan kerja. Kami hanya sama-sama sering datang seorang diri ke cafe ini. Edra datang untuk melihat matahari terbenam. Aku datang kemari untuk mencari ketenangan sambil berkutat dengan deadline tugasku dari kantor.

Awalnya sejak aku sering melihat Edra disini, ingin sekali aku menyapanya. Tapi aku sangat takut untuk menyapa orang asing. Hingga suatu hari Ken tiba-tiba datang dan duduk di hadapanku memperkenalkan diri. Aku ingat betul kami sangat canggung saat pertama kali berkenalan. Aku rasa Edra juga bukan orang yang mudah bersikap hangat pada orang yang baru di kenalnya. 

"Hai, boleh duduk disini? Tidak mengganggu kan?"
"Saya Edra, tinggal di sekitar sini" Sapanya sambil tersenyum kikuk

"Tiara, panggil saja Ara. Aku kerja di kantor sebrang jalan" jawabku meringis membalas senyumnya.

Saat pertama bertemu, Edra bercerita banyak hal padaku. Mulai dari pekerjaannya, kegiatannya di komunitas fotografi sampai hobinya yang senang melihat matahari terbenam. Tapi dia tidak bertanya dan ingin tahu tentangku. Aku pun hanya menjawab sekedarnya dan menimpalinya dengan antusias. Aku benar-benar takut bertemu orang asing. Bukan karena takut diculik atau ditipu dengan hipnotis, tapi karena pengalamanku yang lumayan buruk dengan seseorang yang kini sudah menjadi asing.

Namun kalau dipikir-pikir aku tidak menaruh pikiran negatif sama sekali pada Edra. Walaupun ia sudah dewasa, wajahnya terlihat sangat muda dan polos. Seperti baru lulus SMA. Tidak ada tanda-tanda yang mendukung untuk menyebutnya sebagai orang yang mencurigakan.

Edra bercerita jika ia sudah tiga tahun bekerja sebagai grapic designer di sebuah perusahaan di pusat kota. Ia tinggal di rumah kontrakan yang disewanya seorang diri  selama setahun lebih. Kediaman asalnya di Jogja. Setelah kuliah ia memutuskan tinggal dan bekerja di kota ini. Supaya tidak menanggur dan merepotkan orang tua katanya. 

*Edra*

Sore itu, hujan mengguyur kota dengan begitu lebatnya. Menahanku untuk segera pulang. Waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB, sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Sayang sekali aku selalu lupa membawa jas hujan di musim penghujan begini. Cafe sangat sepi seperti biasanya, kali ini lebih sepi mungkin karena sedang hujan. Menyisakan dua orang pengunjung, aku dan gadis berkerudung hijau army yang duduk di meja sebelah kanan depan kasir. 

Pandanganku tertuju pada gadis berkaca mata tebal itu, wajahnya lusuh, sepertinya baru pulang dari suatu tempat dan belum mandi. Gadis itu sedari tadi sibuk dengan mesin ketik dan tetikus di hadapannya. Sepertinya ia tidak menyadari hari tengah hujan deras karena terlalu asik dengan dunianya. Di samping mesin ketik itu ada sebuah buku terbuka lebar, dengan pembatas di tengahnya. Buku yang sama sekali belum disentuhnya itu, tebalnya kira-kira 500-600 halaman.

Ku hampiri gadis itu untuk mengingatkannya bahwa hari sudah gelap. Barangkali dia terlalu sibuk hingga lupa memeriksa jam di tangannya. Biasanya dia pulang 30 menit lebih awal dariku jika sedang berkunjung di cafe ini. 

Namanya Tiara, lebih suka dipanggil Ara. Gadis yang ramah dan suka pergi ke cafe seorang diri. Sesekali dalam benakku bertanya, apakah dia tidak mempunyai teman? Atau pasangan? Ah... Kenapa aku jadi begitu ingin tahu. Barangkali dia hanya ingin menikmati sisa-sisa harinya seorang diri. Memanjakan diri.

"Sedang apa? Biasanya sudah pulang duluan? Diluar lagi hujan nih hehe" tanyaku setelah memperkenalkan diri

"Sedang mengerjakan tugas kantor. Oh lagi hujan ya, aku kira masih jam lima". Jawabnya sambil melirik jam di tangan kirinya

Mas kesini setiap hari kah?" 

"Iya, setiap hari kesini. Menuggu matahari terbenam"

"Mas suka foto-foto ya?" Tanya gadis itu polos sambil melirik kamera di tanganku.

"Lumayan sih, mau ku foto?" Tanyaku iseng

"Jangan hehe" tolaknya lembut

"Mengapa?"

"Tidak suka difoto"

"Hmmmm... Baiklah"


-Bersambung-



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?