Tentangmu dan Kota Kita


"Hai, apa kabar?" Ingin sekali aku menyapamu melalui pesan WhatsApp, namun aku tak pernah berani melakukannya. Sebenarnya aku tahu kamu baik-baik saja, aku tak pernah sekalipun melewatkan statusmu di sosial media dan kamu selalu terlihat baik. Ah, mungkin saja aku salah, bagaimana bisa kamu baik-baik saja saat hidup dalam tekanan dan kekangan orang tuamu. Kamu tidak bisa memilih sendiri takdirmu, sulit merangkai mimpimu, hingga tak bisa menentukan pujaan hati yang akan kau jadikan pelabuhan rasamu. Katamu, dalam hidupmu "segalanya sudah ditentukan".

Detik ini, entah mengapa aku jadi merindukan kota kita. Kota yang sekarang mulai terlihat sangat asing. Sampai-sampai aku sulit mengingat rutenya, lupa nama-nama jalan, lupa letak tempat-tempat yang dulu sering ku singgahi. Aneh memang, mengapa begitu mudahnya aku melupakan kota tempat kelahiranku, tempat setiap hari aku menghirup udara sejuknya selama tujuh belas tahun. Tempat pertama kali aku jatuh cinta, tempat pertama kali aku mengenalmu dan mulai berani menggantung mimpi di langit tertinggi.

Empat tahun di perantauan menuntutku untuk hidup mandiri dan berjuang dengan sekuat tenaga. Menutup segala kekurangan, menyelesaikan tanggung jawab dan masalah dengan tanganku sendiri. Dari yang tak mengenal siapapun, sampai di setiap tempat aku selalu memiliki teman baik. Empat tahun yang singkat terasa amat panjang, tanpa mengenal hari libur, hingga kesibukan membuatku terlupa untuk menyempatkan pulang ke kota kita.

Kesibukan mungkin hanya alasan semata, tidak terlalu sibuk sebenarnya. Aku memang malas pulang. Bukan karena kota kita tak seindah dulu, malah saat ini tata kotanya sangat pantas untuk dirindukan. Sebelum kota kita menjelma menjadi ala-ala jogja, kita pernah mengarungi setiap sudutnya bersama. Meninggalkan jejak, merawat kenangan, menumbuhkan rindu. Setiap tempat memiliki kenangan manis yang membuatku enggan menengoknya.

Saat kamu memutuskan pergi di pertemuan singkat kita, pertemuan setelah empat tahun tak saling bertegur sapa. Kamu menyesal pernah memberanikan diri kembali dan mengukir kembali mimpi-mimpi yang dahulu kamu porak-porandakan. Kamu berani berangan di atas hidupmu yang tidak pernah memberimu kesempatan untuk memilih. Setelah meyakinkanku kembali, kau jatuhkan aku sejatuh-jatuhnya. Lalu kau ucap pesan terakhirmu padaku, "bahumu harus kuat". Padahal selama ini bahu siapa yang selalu ku topang selain bahuku sendiri?

Ucapan selamat tinggal sekali lagi kau ucapkan di kota kita. Selamat tinggal untuk yang kedua kali. Baiklah, tak apa, selama ini bukankah ucapan selamat tinggal adalah makanan sehari-hari? lumrah, semua pasti akan meninggalkan. Aku akan baik-baik aja untuk saat ini dan nanti. Kita tak perlu lagi bertukar kabar dan mengintip aktifitas satu sama lain di sosial media. Aku sudah menghapus pertemanan kita, menghilangkan celah komunikasi kita. Maafkan aku hanya ingin melupakan semuanya, terlalu menyakitkan jika aku mengingatnya. Karena kamu hanya datang karena sepi dan semudah itu pergi tanpa berusaha berjuang lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?