Kita Semua Punya Inner Child

"Kita semua bertumbuh dan mendewasa tanpa menyadari sebuah monster bersembunyi dalam diri kita dan membentuk kepribadian kita hingga dewasa" -zmh

Inner child adalah sisi kepribadian seseorang yang bertingkah kekanak-kanakan (seperti anak kecil) yang mudah marah, tersinggung, iri, cemburu dan merasa tidak aman. Inner child disebabkan oleh luka batin pada masa kecil akibat pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan dan pola asuh orang tua. 

Menurut pakar psikologi dr. John Bradshaw, Pada usia 6 hingga 7 tahun seorang anak akan mengalami  masa perkembangan gelombang otak pada taraf yang sangat pesat, yaitu pada angka 4-7 teta. Pada usia ini anak akan sangat mudah merekam segala peristiwa yang terjadi dan menyimpannya dalam long term memory (memori jangka panjang).

Pada usia 6-7 segala memori yang terekam akan tersimpan kuat dan mempengaruhi perilaku anak pada masa dewasa kelak. Pada usia 6-7, segala kebutuhan anak yang belum tersampaikan akan terus terbawa hingga dewasa dan sang anak tanpa sadar akan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dari luar diri mereka.

Contohnya, pada masa kanak-kanak kita sering mendengarkan anggota kelurga yang bertengkar, kurang mendapatkan perhatian, terlalu banyak diatur, sering dibanding-bandingkan, tidak pernah diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan lain sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan efek trauma karena menumpuknya emosi-emosi negatif yang terpendam hingga usia dewasa. Sehingga pada kondisi sedang burn out, inner child kita akan mudah untuk terpancing keluar. Inner child akan muncul dalam bentuk perilaku yang tidak disadari (unconscious).

Setiap orang memiliki kondisi inner child yang berbeda-beda, bergantung pada pengalaman dan luka batin yang dialami di masa kecil. Sayangnya pada usia dewasa inner child ini akan sering terluapkan atau ter-displacing pada orang-orang terdekat seperti teman-teman dan pasangan. Mereka akan menjadi korban pelampiasan kita, padahal sebetulnya kita tidak sadar bahwa yang keluar pada saat itu adalah emosi "diri kecil" kita.

Perlu kita ketahui bahwa inner child tidak hanya dipicu oleh pengalaman-pengalaman negatif saja, tetapi juga oleh pengalaman-pengalaman positif. Contoh perilaku yang berasal dari inner child seperti sikap bergantung pada orang lain (dependency), kemandirian, asertif (mengutamakan orang lain) dan beberapa bentuk trauma. Lalu, bagaimana cara mengendalikan inner child kita agar tetap stabil?

Menurut seorang psikolog klinis Stephen A. Diamond PhD, dalam mengatasi permasalahan inner child, kita perlu memahami serta berkomunikasi dengan inner child tersebut. Artinya, kita perlu menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, mencari letak luka batin yang selama ini tanpa sadar mempengaruhi kehidupan di masa kini. Setelah itu berusaha untuk mengikhlaskan segala pengalaman menyakitkan serta memaafkan diri sendiri dan orang-orang yang ikut andil menyumbang luka kita di masa kecil. Kita juga perlu memahami dan berusaha memenuhi kebutuhan inner child kita tanpa menggantungkan diri pada orang lain.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?