Cara Milenial Menghadapi Quarterlife Crisis


Kalangan milenial mungkin sudah tidak asing mendengar istilah Quarterlife Crisis (QLC). Krisis di usia seperempat perjalanan hidup ini umumnya akan dialami seseorang pada usia 20-30 tahun. Perasaan cemas akan masa depan, insecure, dan takut gagal pasti dirasakan oleh seseorang yang berada di fase ini.

QLC pertama kali diperkenalkan oleh Robbins dan Wilner (2001) dalam bukunya Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties. Menurut Robbins dan Wilner, fenomena QLC menggambarkan periode hidup yang tidak tenang, stres, kecemasan yang menimbulkan perasaan ragu, panik dan tidak berdaya.

Fenomena ini ditandai dengan munculnya berbagai persoalan hidup seperti rasa minder, sulit menentukan pilihan, meragukan kemampuan diri, tidak dapat memahami keinginan diri, membandingkan pencapaian diri dengan orang lain dan masih banyak lagi.

Pada masa ini seseorang akan mudah mengalami depresi karena perasaan dan identitas diri yang sedang berfluktuasi sebagai respon terhadap tantangan yang secara konstan datang dalam kehidupan. Dilansir dari laman Tirto.id, QLC biasanya dipicu oleh permasalahan finansial, karier, relasi dan serta masalah identitas seseorang, seperti prinsip dan nilai-nilai yang diyakini.

QLC tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, tetapi juga oleh faktor eksternal seperti tuntutan keluarga yang terlalu tinggi, lingkungan yang kompetitif, stereotip masyarakat mengenai perempuan yang tidak boleh berpendidikan tinggi serta pengaruh sosial media. Terlalu sering bermain sosial media dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi senang membandingkan diri dengan orang lain.

Berdasarkan penelitian seorang psikolog, Robinson (2015) terhadap 2000 mahasiswa lulusan University of Greenwich, terdapat empat fase dalam quarter life crisis yang umumnya dialami oleh seseorang:

Pertama, konflik batin yang di alami saat berada dalam suatu kelompok atau hubungan yang kurang cocok. Seseorang akan merasa kurang nyaman dan ingin menarik diri dari perkumpulan tersebut. Di fase ini akan muncul perasaan gagal menjadi dewasa, tidak bertanggung jawab serta merasa bersalah karena telah mengecewakan orang lain.

Kedua, setelah mengalami konflik batin, seseorang akan mulai memutuskan komitmen dari suatu hubungan yang tidak berhasil. Pada fase ini akan timbul rasa kehilangan dan cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ketiga, seseoeang mulai menjelajahi identitas diri secara mendalam dan mulai mencoba pengalaman, lingkungan serta kebiasaan baru. Selanjutnya seseorang akan memilah-milah apa saja yang penting dan sesuai dengan idealisme yang dimiliki.

Keempat, seseorang akan mulai menjalani hidup dengan cara yang lebih otentik dan sesuai apa yang diinginkan dan dibutuhkan, bukan lagi atas kehendak atau keinginan orang lain.

Lalu bagaimana cara menghadapi QLC ala generasi milenial saat ini? dilansir dari idealist.org, ada beberapa cara dalam menghadapi QLC yaitu dengan berhenti menyalahkan kekurangan yang pada diri sendiri. Terlalu sering menyalahkan diri akan berdampak pada diri yang sulit berpikir maju.

Selanjutnya, teruslah bergerak dan bereksplorasi. Buatlah target dan rencara untuk lima tahun kedepan dengan pencapaian-pencapaian yang jelas. Luangkan waktu untuk merenung, meningkatkan kesadaran diri (self-awereness) serta berusaha melawan pikiran-pikiran negatif.

Terakhir, buatlah pertemuan yang berkualitas dengan teman-teman sebaya untuk mengevaluasi dan menyusun kembali rencana-rencana di masa mendatang. Dengan sering bertemu dan menjalin hubungan baik dengan orang lain, akan terbentuk hubungan emosional yang mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

 (Tulisan ini pernah dimuat di laman www.pucukmera.id pada 9 September 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?