Toxic

 Menyelamimu adalah kesalahan terbesar yang pernah ku buat. Entah seberapa dalam aku menyelam, dasarmu tak pernah bisa ku sentuh. Entah berapa lapis dinding yang kau bangun untuk menyembunyikan jati dirimu. Entah apa yang tersembunyi disana, ku yakin tak seorangpun kau izinkan merabanya.

Aku tau, sosokmu sangat berbeda. Kau selalu berpikir dengan cara yang terpikirkan oleh orang lain. Sedangkan aku hanya manusia pada umumnya, dengan berjibun keluh kesah yang siap ku hidangkan saat bersamamu. Aku tahu, kau sungguh kenyang dengan masalah, iya masalahku. Kau seperti hidup tapi tak hidup, tidak pernah menyumpahi derita, tak juga terlalu antusias pada dunia. Kau seperti daun jatuh di atas air mengalir.

Sempat beberapa kali keluhku membuatmu kesal, "Sudah berapa kali?" tanyamu. "Sudah berapa kali kesalahan yang sama kau ulang?". Ujarmu ketus. "Lihat polanya, pikirkan solusi bukan masalahnya". "Disaat pola itu tetap sama, kau menyikapi dengan cara yang sama, berarti tak ada yang berubah dari pikiranmu". Kata-katamu selalu berhasil menamparku. Kau selalu dongkol dengan isi kepalaku yang sulit diajak berfikir logis.

Bukannya mencoba meresapi apa yang kau katakan, aku yang perasa jusru semakin menangis, menyebutmu jahat dan tidak peka. "Bukankah orang yang sedih perlu ditenangkan? perlu dibela? kenapa malah semakin dihakimi?", dan akhirnya semakin bertambah lagi satu masalah.

Kau selalu punya cara untuk membuat seseorang menyadari kekurangannya sendiri, alih-alih mengkambing hitamkan orang lain. Cara yang mungkin tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Tetapi aku belum cukup dewasa dan bijak untuk menerimanya. Aku masih seperti bocah yang merengek pada ayahnya saat balonnya direbut bocah lain. Tidak bisa membela diri, dan ingin ayahnya memarahi bocah itu.

Tapi di lain sisi, hal yang membuatku semakin tidak mengerti adalah sifatmu yang manipulatif. Entah apapun yang kau katakan selalu terlihat meyakinkan di mataku. Aku seakan dicuci otak selama bertahun-tahun. Tatapanmu itu selalu membuatku terhipnotis dan percaya. Kau selalu marah dan agresif saat aku mulai mengulik bau bangkai yang merasuki indera pembauku. Kau bersigap menutup rapat celah-celah yang akan membuatmu celaka. Katamu, aku tidak akan pernah mengerti apapun. Aku tidak akan mengerti posisimu

Aku yang bodoh ini akhirnya selalu menjadi tersangka, atas apapun kesalahan yang kau lakukan. Katamu semua masalah yang terjadi bermula dari kesalahanku. Kau selalu mencari pembenaran atas perilakumu yang salah alih-alih mengakuinya. Sungguh kontradiktif dengan apa yang selalu kau ajarkan padaku. Kau pun tidak pernah berintrospeksi diri. 

Hingga kita sampai berhenti di titik ini. Aku mengangkat bendera putih pada lingkaran setan yang kau ciptakan. Awalnya aku sangat yakin, hubungan yang dibangun bertahun-tahun akan membuat kita bisa saling mengerti satu sama lain. Aku yakin suatu hari kau akan bermetamorfosis menjadi malaikat pelindungku. Tapi ego kita selalu ingin dimenangkan. Kau dan aku terlahir dari rahim luka yang tidak akan menjadi penawar satu sama lain. Jika terus bersama, kita akan menjadi racun yang membunuh hubungan ini perlahan-lahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?