Rumah

Saya pernah berada dalam suatu kelompok yang mengidealkan 'kehadiran' dan 'kontribusi' sebagai suatu penilaian yang mutlak. Alih-alih membuat seluruh anggotanya nyaman 'di rumah', kelompok ini justru menyalahkan minimnya inisiatif satu sama lain.

...

Bahkan tanggung jawab selalu dianggap lebih penting dibanding berusaha memahami kondisi yang sedang dilalui seseorang. Masalah prioritas lain pun selalu jadi kambing hitam. Beradu eksistensi, yang diakui dan dianggap hidup adalah mereka yang mampu memenuhi standar. Sekecil apapun progres diri tak pernah diapresiasi, terus mengorek kekurangan, saling tekan, saling tuding, biar kuat mental katanya (?). 

....

Para tetua pun sering mengucap kalimat andalan, "dunia luar lebih keras dari ini", "kami dulu lebih berat dari kalian". Yang mampu bertahan adalah mereka yang terpilih, lalu mencaci mereka yang memilih jalan lain sebagai korban seleksi alam. "Menghilang" selalu menjadi kesimpulan akhir dibanding berevaluasi dan menanyakan "mengapa?", "apa yang perlu diperbaiki?".

...

Mereka selalu menyebutnya sebagai rumah. Bukankah "rumah" selalu menjadi tempat pulang ternyaman? Bukankah rumah selalu menjadi tempat merangkul mereka yang terasing dan menerima kekalahan. Bukankah kelompok yang menjunjung toleransi ini, justu mengingkarinya makna toleransi itu sendiri?

...

Dan kelompok ini terus bertahan dengan idealismenya. Tak perduli seberapa banyak keluarga yang melepaskan diri. Mempertahankan kultur lama yang menurutnya ciri khas yang harus ada. Bukankah setiap rumah perlu pondasi yang kuat, perlu anggota yang bersatu dan saling memahami? Baru setelahnya rumah itu bisa bertambah besar dan kokoh.

....

Lalu aku tanya, kita ini berkelompok untuk menyatukan visi atau berpecah belah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan

Mengapa aku menulis?

School From Home, Efektifkah?